STRANGERVIEWS – Mungkin permainan kata-kata telah menjadi spesialisasi Presiden Joko Widodo. Terkait ekspor pasir laut, ia menyebut material yang diambil dari dasar laut dan dijual ke luar negeri sebagai ‘sedimen’. Namun, dalam peraturan pemerintah yang ia tandatangani, sedimen laut didefinisikan persis sebagai pasir dan lumpur laut.
Pengerukan lumpur dasar laut untuk diekspor jelas tidak masuk akal. Lumpur bukanlah material yang dapat digunakan untuk mereklamasi pantai atau membuat pulau. Ombak hanya akan membawanya kembali ke laut. Material utama untuk reklamasi pantai atau untuk membentuk daratan baru adalah pasir laut.
Selain itu, negara lain tidak tertarik mengimpor sedimen. Kedua, lokasi penggalian pasir jauh dari muara sungai yang menjadi tempat sedimentasi akibat material yang terbawa arus sungai sehingga mengganggu jalur pelayaran—seperti yang diklaim Jokowi. Di sejumlah tempat, seperti Pulau Bintan, Lingga, dan Karimun di Provinsi Kepulauan Riau, pasir laut tersebut bukanlah hasil sedimentasi baru. Pasir tersebut merupakan pasir purba yang berasal dari masa Paparan Sunda—wilayah yang kini meliputi sebagian wilayah Indonesia bagian barat, semenanjung Malaysia, dan Singapura—masih berupa daratan kering.
Dengan kata lain, pemerintahan Jokowi membohongi publik. Tidak ada hubungan antara pendangkalan perairan akibat sedimentasi dengan pasir yang akan ditambang. Kebohongan ini juga terlihat dari penggunaan frasa “pengambilan sedimentasi laut” dalam peraturan pemerintah yang sama. Seolah-olah penambangan pasir laut adalah hal yang baik.
Pembohongan publik ini sama buruknya dengan kebijakan ekspor pasir laut di akhir masa jabatan presiden. Membuat kebijakan yang merugikan rakyat dan lingkungan jelas tidak bertanggung jawab. Dengan melakukan hal ini di akhir masa jabatan presidennya, Jokowi menjebak pemerintahan baru dalam kebijakan yang nantinya akan menimbulkan masalah.
Penambangan pasir juga akan merusak ekosistem laut. Penambangan 17,6 miliar meter kubik sedimen di tujuh lokasi yang ditentukan berisiko mengubah kontur dasar laut, yang mengakibatkan perubahan arus dan gelombang. Pada akhirnya, dampak ini akan terasa di daratan. Misalnya, pulau-pulau akan menjadi lebih rentan terhadap abrasi.
Belum lagi dampaknya terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Mereka juga akan menderita akibat penambangan pasir laut karena akan merusak wilayah penangkapan ikan mereka. Para ahli dari lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia telah menghitung biaya rehabilitasi akibat penambangan pasir laut tersebut lima kali lebih besar daripada keuntungan yang akan diperolehnya.
Oleh karena itu, Jokowi seharusnya tidak mengeluarkan kebijakan ini sejak awal. Apalagi kebijakan ini sarat dengan konflik kepentingan. Ada dugaan bahwa Jokowi mengeluarkan aturan ini untuk memberikan karpet merah kepada para taipan dan pemerintah Singapura, dengan harapan mereka bersedia berinvestasi di Ibu Kota Negara (IKN). Singapura diyakini akan menggunakan pasir Indonesia untuk memperluas Pelabuhan Tuas dan membangun pulau-pulau baru di lepas pantai timurnya. Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono secara terbuka menyatakan bahwa Singapura merupakan salah satu negara yang membutuhkan pasir laut Indonesia.
Ambisi pribadi Jokowi untuk memuluskan pembangunan IKN tidak lepas dari motivasi politikus dan taipan yang mencari keuntungan. Setelah ekspor diizinkan, 66 perusahaan antri untuk mendapatkan izin. Di antaranya adalah perusahaan yang terkait dengan pejabat yang menerbitkan aturan ekspor sedimen laut. Dengan kata lain, para pemodal telah memengaruhi pemerintah untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan mereka.
Dari sisi mana pun, upaya menghidupkan kembali kebijakan ekspor pasir laut tidak boleh dilanjutkan. Permintaan politikus Partai Gerindra agar kebijakan itu ditunda saja tidak cukup. Aksi protes itu dinilai sebagai upaya untuk menghapus kesalahan partai yang dipimpin presiden terpilih Prabowo Subianto itu. Bahkan ada yang menduga aksi protes itu dilakukan hanya untuk memastikan agar taipan yang dekat dengan Gerindra juga diundang untuk ikut menikmati keuntungan.
Prabowo tidak boleh membiarkan segelintir pengusaha yang bekerja sama dengan pejabat negara mengeluarkan kebijakan yang dapat merusak kedaulatan negara. Atas nama nasionalisme yang selama ini dijunjungnya, setelah dilantik pada 20 Oktober nanti, Prabowo harus mencabut kebijakan tersebut.