STRANGERVIEWS – Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol meminta maaf pada Sabtu, 7 Desember 2024, atas pernyataan darurat militernya yang singkat awal minggu ini, tetapi menolak seruan untuk mengundurkan diri, bahkan dari dalam partainya sendiri. Permintaan maaf itu disampaikan beberapa jam sebelum pemungutan suara pemakzulan yang direncanakan yang dipimpin oleh anggota parlemen oposisi. Dalam pidato yang disiarkan di televisi, Yoon menggambarkan keputusan itu sebagai tindakan putus asa dan bertanggung jawab, tetapi berjanji tidak akan ada upaya lebih lanjut untuk menerapkan darurat militer.
Deklarasi kontroversial itu, yang dicabut hanya enam jam setelah dikeluarkan, telah menjerumuskan Korea Selatan ke dalam krisis politik terburuk dalam beberapa dekade, mengguncang citranya sebagai negara demokrasi yang sukses. Yoon menyerahkan masa depan politiknya di tangan partainya, dengan mengatakan bahwa mereka dapat memutuskan langkah-langkah untuk menstabilkan situasi. Namun, pemimpin partainya, Han Dong-hoon, berpendapat bahwa pengunduran diri Yoon tidak dapat dihindari, dan menggambarkannya sebagai orang yang tidak layak untuk memimpin.
Berdasarkan konstitusi, jika Yoon mengundurkan diri atau dimakzulkan, Perdana Menteri Han Duck-soo akan bertindak sebagai penjabat presiden, dengan pemilihan presiden yang harus dilakukan dalam waktu 60 hari. Anggota parlemen diperkirakan akan memberikan suara untuk pemakzulan pada pukul 5 sore pada hari Sabtu, dengan para pemimpin oposisi menjanjikan upaya lain jika usulan tersebut gagal.
Tekanan publik terhadap Yoon terus meningkat, dengan ribuan orang berunjuk rasa di luar gedung parlemen pada Jumat malam. Untuk memakzulkannya, setidaknya delapan anggota partainya harus bergabung dengan pihak oposisi dalam pemungutan suara. Jika pemakzulan itu lolos, maka akan dilanjutkan ke Mahkamah Konstitusi, di mana enam dari sembilan hakim harus menyetujuinya.
Kontroversi Darurat Militer
Yoon mengejutkan negara itu dengan memberlakukan darurat militer pada hari Selasa, dengan alasan ancaman dari “pasukan komunis Korea Utara” dan elemen-elemen anti-negara. Dekrit tersebut memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada militer tetapi dengan cepat ditarik setelah mendapat reaksi keras. Ia juga menuduh Majelis Nasional merusak fungsi dan keamanan pemerintah melalui salah urus anggaran dan upaya pemakzulan.
Langkah tersebut semakin mengisolasi Yoon secara politik karena ia berjuang melawan skandal, tekanan oposisi, dan perpecahan dalam partainya sendiri. Di tingkat internasional, hal itu menuai kritik langka dari AS, dengan Menteri Pertahanan Lloyd Austin membatalkan kunjungan ke Korea Selatan. Kepemimpinan Yoon, yang pernah dipuji karena memperjuangkan demokrasi, kini tengah diawasi.
Tindakan Yoon telah menarik perbandingan dengan pemakzulan mantan Presiden Park Geun-hye tahun 2016, yang digulingkan setelah protes publik selama berbulan-bulan. Para pengunjuk rasa yang menuntut pemakzulan Yoon telah menghidupkan kembali demonstrasi serupa, dengan mengadakan acara peringatan dengan menyalakan lilin di luar gedung parlemen.
Jaksa sedang menyelidiki Yoon dan para pejabatnya atas tuduhan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika terbukti bersalah, mereka akan menghadapi hukuman berat, termasuk penjara seumur hidup atau hukuman mati. Krisis yang sedang berlangsung ini dapat memakan waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan dan semakin mengganggu stabilitas politik negara.