STRANGERVIEWS – Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono menanggapi kekhawatiran seputar pernyataan bersama Indonesia – Cina baru-baru ini . Ia menegaskan bahwa kerja sama maritim tersebut tidak akan membahayakan kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan .
“Kalau bicara kedaulatan, kami tidak akan mengubah pendirian,” kata Sugiono saat rapat kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks parlemen Senayan, Senin, 2 Desember 2024.
Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada 9 November 2024 menandatangani pernyataan bersama yang menguraikan kerja sama di berbagai bidang, termasuk kerja sama maritim. Poin ke-9 pernyataan tersebut menyebutkan “pemahaman bersama tentang pengembangan bersama di bidang-bidang yang memiliki klaim yang tumpang tindih.”
Sugiono menegaskan, hal itu bukan berarti mengakui klaim sembilan garis putus-putus China. “Kami tidak menyatakan pengakuan, juga tidak menyatakan akan bekerja di titik A, koordinat B. Itu tidak ada,” jelasnya.
Ia menyoroti arahan Presiden Prabowo untuk meningkatkan kerja sama dengan negara tetangga demi kepentingan Indonesia. Pernyataan bersama tersebut berpegang pada prinsip saling menghormati dan ketentuan internasional yang relevan.
“Fokusnya adalah memanfaatkan sumber daya alam dan kekayaan untuk keuntungan bersama,” tambah Sugiono.
Profesor Hikmahanto Juwana, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, menyuarakan kekhawatirannya tentang implikasi klausul “klaim tumpang tindih”. Ia mempertanyakan apakah ini merujuk pada klaim sembilan garis putus-putus China, yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.
Bila benar demikian, ia menilai dalam keterangan tertulisnya, Senin, 11 November, hal itu menandakan adanya perubahan drastis kebijakan Indonesia terhadap klaim sepihak China tersebut.
Ia menegaskan bahwa Indonesia secara konsisten menolak klaim sembilan garis putus-putus China, yang tidak diakui berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS). Putusan Pengadilan Arbitrase Tetap tahun 2016 semakin memperkuat posisi ini.
Namun, pernyataan bersama tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia kini mungkin mengakui klaim sepihak China. Hikmahanto menggambarkan hal ini sebagai kemunduran dalam sikap Indonesia terhadap masalah tersebut.
Ia menjelaskan, pembangunan bersama hanya dapat terjadi jika kedua pihak mengakui adanya tumpang tindih zona maritim. Pengakuan klaim sembilan garis putus-putus Tiongkok bertentangan dengan negosiasi batas maritim Indonesia dan hukum serta peraturan dalam negeri.
Hikmahanto lebih lanjut memperingatkan bahwa pengembangan bersama dengan Tiongkok dapat memiliki implikasi geopolitik yang signifikan bagi kawasan.